Wisata Kota Malang

Peta Kabupaten Malang

Arsip Blog


Jual Beli Laptop Notebook Malang

Ribuan Masyarakat Kabupaten Malang Hidup di Tanah Sengketa

Minggu, 28 Maret 2010

Ribuan Masyarakat Kabupaten Malang Hidup di Tanah Sengket. Mereka Menganggap Warisan Nenek Moyang

Kolonial Belanda sudah berakhir. Namun, dampak penjajahan di Kabupaten Malang masih banyak menyisakan permasalahan. Ribuan hektare tanah bekas perkebunan milik warga Belanda, kini menjadi problem cukup serius antara negara dengan masyarakat. Tak jarang harus diselesaikan dengan konflik.

---

Gara-gara tanah peninggalan Belanda, masyarakat harus "berperang" dengan TNI ataupun instansi pemerintah lainnya. Ada juga masyarakat yang membabat tanaman milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Setelah membabat tanaman, mereka lantas menguasai tanahnya.

Ribuan masyarakat yang mempunyai masalah tanah itu sepertinya sudah tak peduli lagi dengan siapa dia harus berhadapan. Tak hanya cara anarkis, mekanisme pengadilan pun juga mereka tempuh. Itu demi mempertahankan tanah yang mereka anggap sebagai peninggalan atau warisan nenek moyangnya.

Di Dusun Sumbernongko, Desa Pagak, Kecamatan Pagak misalnya, ada 900 kepala keluarga (KK) menempati tanah negara bekas hak erpacht. Yang dimaksud hak erpacht adalah hak tanah sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah partikelir pada era Belanda. Hak ini biasanya digunakan untuk usaha perkebunan.

Tanah di Sumbernongko yang tercatat atas nama NV Cultuur Maatschappij Banduroto te Probolinggo itu akhirnya dikuasai oleh Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AL Purboyo sejak 46 tahun lalu.

Sejak Belanda pergi, tanah Sumbernongko sebenarnya langsung dikuasai masyarakat. Fauzi, 65, warga Dusun Sumbernongko mengatakan, sejak lahir dia hidup bersama kedua orang tuanya di tanah bekas perkebunan Belanda itu. "Hingga perang selesai dan Belanda pergi, orang tua saya masih tetap menggarap tanah di sini," kata Fauzi.

Orang tua Fauzi dan masyarakat lainnya membuka lahan baru untuk petani. Mereka kemudian menganggap bahwa lahan itu merupakan miliknya secara otomatis. Namun, pada 1964, masyarakat yang mendiami tanah Sumbernongko terusik. Tanah tersebut dimohon oleh Dephankam cq TNI AL untuk latihan tempur Korp Marinir TNI AL. Selanjutnya atas permohonan tersebut diterbitkan SK Meneteri Agraria tanggal 16-7-1965 No. SK. 32/H.Peng/65 yang memberikan hak penguasaan kepada TNI AL.

"Kami sendiri tidak diberitahu secara pasti penguasaan tanah tersebut. Padahal ini tanah nenek moyang kami," jelas Fauzi.

Masyarakat memberontak. Mereka terus melakukan demo. Juga meminta bantuan Pemkab Malang dan DPRD untuk membantu. "Persoalan ini membuat kami resah," tandas Mahmudi, 31, warga Sumbernongko lainnya.

Pria yang sudah memiliki anak satu ini memiliki KTP dan kartu keluarga sesuai dengan tanah yang ditempatinya. Tanah yang diklaimnya sebagai warisan dari orang tuanya. Tapi, dia merasa hidupnya tidak merdeka. Sebab, dirinya bersama masyarakat lainnya tak boleh membangun di atas "tanahnya". Sekadar lampu penerangan saja, mereka tak diberi akses.

Mahmudi berharap pemerintah mau turun dan melihat fakta yang ada di masyarakat. "Kami hanya meminta hak," tuntut pria yang bergabung dengan Aliansi Gerakan Reformasi Agraria.

Harapannya pemerintah bisa memberikan hak milik kepada warga Sumbernongko dengan cara diredistribusi (pembagian dan pemberian hak tanah kepada masyarakat).

Di Perkebunan yang berada di Desa Tegalrejo dan Desa Sekarbanyu, keduanya masuk Kecamatan Sumbermanjing Wetan, juga ada persoalan tanah. Masyarakat memanfaatkan lahan tidur yang berada di bawah pengelolaan PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara) XII Pancursari sebagai pemegang hak guna usaha (HGU).

Masyarakat dipermasalahkan pemegang HGU karena mulai membangun pemukiman. Mereka memanfaatkan tanah kosong yang dibiarkan PTPN XII untuk tempat tinggal. Menurut Suwarji, Kades Tegalrejo, luas tanah bekas Perkebunan Pancursari sekitar 3.029 hektare. Sedangkan HGU yang dimiliki PTPN hanya 1.864 hektare. Sisanya sebesar 1.165 hektare merupakan tanah negara. "Tanah itu memang dibiarkan kosong," kata Suwarji.

Dia menjelaskan, tanah yang digarap masyarakat adalah lahan yang dibiarkan tanpa ada pengeloaan oleh pemegang HGU. Karena itu dirinya bersama masyarakat berupaya agar tanah tersebut bisa dimiliki masyarakat. "Kami butuh tanah itu. Sebab masyarakat banyak yang menganggur," aku Suwarji. (bb/fir) (jawapos)

Tulisan Terkait Lainnya



0 komentar:

Posting Komentar